cara menganti cursor

Original Source : http://kyumincople.blogspot.com/2012/02/cara-mengganti-cursor-diblog.html
Copyright kyumincople.blogspot.com

Rabu, 05 November 2014

prosesi pengadilan peradilan islam



TUGAS FIQIH


  Pengertian Peradilan
Kata peradilan berasal dari bahasa Arab قضاء yang berarti menyelesaikan, menunaikan, dan memutuskan hukum atau membuat suatu ketetapan. Jamaknya adalah aqdhiya yang berarti “memutuskan perkara/ perselisihan antara dua orang atau lebih berdasarkan hukum Allah.”
Qadha dapat pula diartikan sesuatu hukum antara manusia dengan kebenaran dan hukum dengan apa yang telah diturunkan oleh Allah. Para ahli fikih memberikan definisi qadha sebagai suatu keputusan produk pemerintah atau menetapkan hukum syar’i dengan jalan penetapan.
Kata Qadha sendiri memiliki beberapa arti yang satu sama lain saling berkaitan yaitu :
·         Al-Hukmu yaitu mencegah, menghalangi, atau menghukumi.
·          Al-farag yaitu selesai, putus, atau mengakhiri.
·         Al-ada’ yaitu menunaikan atau membayar.
Menurut Muhammad Sallam Madkur, qadha’ disebut hakim karena dia melarang pelaku dari perbuatan tidak adil.
Dalam Al-Qur’an Surah Al-Ahzab ayat 37, Allah swt.berfirman:
(٣٧:الْأحزاب) …فَلَمَّا قَضَى زَيْدٌ مِّنْهَا وَطَراً
   Artinya:
“….Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannya) ….” (QS. Al-Ahzab/33:37).
            Menurut istilah, peradilan adalah suatu lembaga yang dibentuk pemerintah atau negara yang bertugas untuk memutuskan atau menetapkan setiap perkara dengan adil berdasarkan hukum yang berlaku. Apabila yang dijadikan dasar penetapan suatu perkara itu adalah ajaran-ajaran Islam, maka disebut peradilan islam. Sedang pengertian pengadilan adalah tempat untuk mengadili suatu perkara,dan orang yang bertugas mengadili suatu perkaranya disebut Qadi atau Hakim.

Unsur-unsur peradilan Islam disebut juga dengan rukun qadha’. Secara bahasa, rukun yaitu bagian yang kuat, yang berfungsi menahan sesuatu. Secara istilah, rukun berarti bagian tertentu yang mesti dari sesuatu, karena terwujudnya sesuatu itu mesti dengan adanya bagian itu. Jadi, rukun qadha’ (unsur-unsur peradilan) yaitu apa yang menunjukkan eksistensi peradilan itu, baik berupa perkataan maupun perbuatan. Sebagian ahli fiqih menyebutkan bahwa peradilan Islam mempunyai lima rukun atau unsur, yaitu:

a)      Hakim (qadhi)
Yakni orang yang diangkat oleh kepala negara untuk menjadi hakim dalam menyelesaikan gugatan dan perselisihan, dikarenakan penguasa tidak bisa melaksanakan sendiri tugas-tugas peradilan. Sebagaimana yang dilakukan nabi Muhammad SAW pada masa hidupnya. Beliau mengangkat qadli-qadli untuk bertugas menyelesaikan sengketa di antara manusia di tempat yang jauh.
b)      Hukum (qodho’)
Yaitu suatu keputusan produk qadli untuk menyelesaikan perselisihan dan memutuskan persengketaan. Ada dua bentuk keputusan hakim:
o   Qadla’ ilzam, yaitu menetapkan hak/macam hukuman kepada salah salah satu pihak dengan redaksi “aku putuskan atasmu demikian”, atau menetapkan suatu hak dengan tindakan, seperti pembagian secara paksa.
o   Qadla’ tarki (penetapan berupa penolakan). Seperti ucapan qadli kepada penggugat: kamu tidak berhak menuntut dari tergugat, karena kamu tidak mampu membuktikan, dan atas sumpah tergugat.
c)      Al-mahkum bih (hak)
Yaitu sesuatu yang diharuskan oleh qadli untuk dipenuhi atas suatu hak. Pada qadla’ ilzam, yang dimaksud adalah dengan memenuhi hak penggugat. Sedangkan pada qadla’ tarki, yang dimaksudkan adalah penolakan atas gugatannya itu. Atas dasar itulah, al-mahkum bih adalah hak itu sendiri. Hak itu adakalanya hak Allah semata, hak manusia semata, atau hak yang dipersekutukan antara Allah dan manusia tetapi salah satu lebih berat.
Apabila hak yang dituntut itu merupakan hak manusia semata, atau menurut lazimnya merupakan hak manusia, maka penuntutnya adalah pemilik hak itu sendiri, atau orang yang diberi kuasa olehnya. Si penuntut itu disebut mudda’i (penggugat). Jika ternyata dia tidak menuntut atau membatalkan tuntutannya, maka ia tidak boleh dipaksa untuk menuntut haknya. Apabila hak yang dituntut itu adalah hak Allah semata-mata atau menurut lazimnya hak itu merupakan hak Allah, maka tuntutan itu dilakukan oleh penuntut umum (jaksa). Menurut hanafiyyah, yang dimaksud hak Allah adalah hak masyarakat (publik).
d)     Al-mahkum ‘alaih
Yaitu orang yang dijatuhi putusan atasnya. Mahkum ‘alaih yaitu orang yang dikenai putusan untuk diambil haknya, baik ia mudda’a alaih (tergugat) atau mudda’i (penggugat).
e)      Al-mahkum lahu
Yaitu penggugat suatu hak, yang merupakan hak manusia semata-mata (hak perdata), atau hak yang lazimnya merupakan hak manusia semata-mata. Mahkum lah harus melakukan sendiri gugatan atas haknya atau dengan perantaraan orang yang diberi kuasa olehnya, dan ia harus datang sendiri ke persidangan atau wakilnya. Adapun bila hak itu merupakan hak Allah semata, maka mahkum lah-nya adalah syara’. Dalam hal ini, tuntutan bukan datang dari perorangan, tetapi sesuai syari’at Islam. Tuntutan itu dilakukan oleh lembaga penuntut umum.
B.     Fungsi Peradilan
            Fungsi peradilan adalah untuk menyelesaikan persengketaan (mendamaikan) antara dua orang atau lebih dan memutuskan hukum, di samping itu pula fungsi peradilan yaitu untuk menciptakan ketertiban dan ketentraman masyarakat yang dibina melalui tegaknya hukum. Menurut Ibnu Khaldum, bahwa tempat menegakkan hukum adalah menetapkan suatu perkara sehingga bersatu kembali pihak-phak yang bermusuhan, terpenuhi berbagai hak yang umum dari kaum muslimin dengan pertimbangan membantu pihak yang lemah, yang kena jinayat, anak-anak yatim, orang yang bangkrut dan mereka hidupnya yang kesususahan.Di samping itu pula peradilan bertujuan untuk menciptakan kemaslahatan umat dengan tetap tegaknya hukum Islam.
            Oleh karena itu fungsi pokok peradilan adalah :
1. Mendamaikan kedua belah pihak yang bersengketa.
2.  Menetapkan sanksi dan menerapkannya kepada para pelaku perbuatan yang melanggar.
3.  Menciptakan ketertiban dan ketentraman masyarakat yang dibina melalui tegaknya supremasi hukum.
4.  Mengayomi masyarakat dari ketidakadilan.
5.  Melindungi jiwa, harta, dan kehormatan masyarakat.
6.  Menciptakan kemaslahatan umat dengan tetap tegaknya hukum islam.
7.  Menegakkan amar  makruf dan nahi mungkar, yaitu menyampaikan hak kepada orang yang harus menerimanya dan menghalangi orang yang zalim dari perbuatannya.
C.    Tata Cara Pengadilan Menjatuhkan Hukumannya
            Dalam menjatuhkan suatu hukum, seorang hakim harus melakukan proses dengan melalui berbagai tahapan, seperti mendengarkan dakwaan dari pendakwa atau penuduh, memberikan kesempatan terdakwa untuk menanggapi dakwaan, memeriksa kebenaran dakwaan melalui bukti maupun saksi. Berikut penjelasan dari proses tersebut, yaitu:
            Pendakwa atau penuduh diberikan kesempatan secukupnya untuk menyampaikan tuduhannya sampai selesai. Sementara itu terdakwa atau tertuduh diminta untuk mendengarkan dan memperhatikan semua tuduhan dengan sebaik-baiknya sehingga apabila tuduhan telah selesai terdakwa dapat menilai benar atau tidaknya tuduhan tersebut.
            Sebelum dakwaan atau tuduhan selesai disampaikan maka hakim tidak boleh bertanya kepada pendakwa, sebab di khawatirkan akan dapat memberikan pengaruh positif maupun negatif kepada terdakwa.
            Hakim memeriksa tuduhan-tuduhan tersebut dengan mengajukan beberapa pertanyaan yang di anggap penting untuk menguatkan dakwaannya. Apabila terdakwa menolak, maka dia harus bersumpah.
            Pendakwa harus menunjukan bukti-bukti yang benar, untuk menguatkan dakwaannya.
            Rasulullah saw. bersabda, yang artinya:
"Pendakwa harus menunjukkan bukti-bukti dan terdakwa harus bersumpah" (HR. Baihaqi).
            Jika pendakwa menunjukkan bukti-bukti yang benar maka hakim harus memutuskan sesuai dengan tuduhan meskipun terdakwa menolak dakwaan tersebut. Sebaliknya jika terdakwa dapat bukti-bukti yang benar hakim harus menerima sumpah terdakwa sekaligus membenarkan terdakwa.
D.    Cara Memeriksa Terdakwa dan Terdakwa Yang Tidak Hadir Di Persidangan
1.      Memeriksa Tedakwa
Cara memeriksa terdakwa :
-       Hakim berusaha mendamaikan pihak-pihak yang berperkara
-       Jika tidak dapat didamaikan, perkara itu diperiksa menurut ketentuan yang berlaku.
Beberapa kemungkinan dalam jalannya persidangan, yang pada akhirnya hakim memutuskan perkara :
a.       Apabila terdakwa mengikrarkan (mengakui) tuduhan, maka hakim memutuskan perkara sesuai dengan pengakuan tersebut, dan pemeriksaan terdakwa dianggap tuntas.
b.      Apabila terdakwa mengingkari tuduhan pendakwa, maka hakim meminta kepada pendakwa untuk mendatangkan bukti-bukti perkara.
c.       Apabila bukti-bukti tidak cukup, sedangkan pendakwa tidak mampu membuktikan kebenaran gugatannya, lalu ia minta supaya pihak terdakwa disumpah, maka hakim harus meluluskan permintaannya, setelah itu hakim memutuskan perkara berdasarkan sumpah terdakwa.
2.      Terdakwa Yang Tidak Hadir Di Persidangan
            Dalam pemeriksaan harus dihadirkan pihak-pihak yang berperkara. Untuk pendakwa dianggap tidak ada masalah hadir di persidangan, karena ia yang menuntut agar perkaranya dimejahijaukan. Sedangkan terdakwa juga harus hadir. Jika tidak, pengadilan tetap memanggilnya sampai batas tiga kali. Menurut Imam Hanafi jika terdakwa tidak mau hadir karena membangkang atau tidak hadir lalu memberikan ikrar kepada hakim akan menerima apa yang diputuskan pengadilan, maka hakim boleh memutuskan perkara dengan cara Verstek (tidak hadir dan absentia).
  Menurut Imam Abu Hanifah, Ibn Abi Laila, Syuraih, dan Umar bin Abdul Aziz tidak membolehkan putusan verstek ini. Alasan yang dikemukakan adalah mungkin saja ketidakhadiran terdakwa karena ada hujjah yang menyebabkannya tidak bisa hadir di persidangan. Akan tetapi jika ada wakilnya, persidangan bisa dilanjutkan atau dilangsungkan.

PROSES PERADILAN DALAM ISLAM

A. Proses Peradilan dalam Islam
Dalam proses peradilan, perkara akan diselesaikan jika telah melalui beberapa tahap, yaitu dimulai dari diajukannya gugatan, dilanjutkan dengan pemerksaan oleh qadhi, pembuktian atas gugatan dan pembelaan dari yang digugat, kemudian dilanjutkan dengan musyawarah dan keputusan dari seorang hakim.
1.  Permohonan (gugatan)
Pihak yang mengajukan permohonan disebut pemohon, sedangkan pihak yang dikenakan permohonan disebut termohon, Setidaknya ada beberapa cara dalam mengajukan gugatan, yaitu: dagvaarding (pengajuan permohonan melalui perantara advokat), cara biasa, cara langsung dan perwakilan, cara tertulis dan lisan, dan cara surat kuasa.
2. Pemeriksaan dalam sidang Pengadilan
Setwelah permohonan diajukan, seorang hakim melanjutkan dengan pemeriksaan atas berkas perkara, baik itu melalui pemangglan pihak-pihak, tangkisan, siding terbuka/tertutup, ataupun diberikannya hak ingkar atas termohon.
3. Pembuktian
Pembuktian merupakan syarat bagi seorang qadhi untuk memberikan keputusan hukum yang bersifat mengikat. Bukti juga dperlukan oleh seorang penuntut untuk membuktikan dakwaanya. Nabi saw. Bersabda:
Artinya: “Bukti itu wajib bagi orang yang mendakwa, sedangkan sumpah itu wajib bagi orang yang didakwa “ (H.R Baihaqi dan thabrani)
Sesuatu tdak bisa menjadi bukti menjadi bukti, kecuali jika sesuatu tu menyakinkan dan pasti. Seseorang tidak boleh memberikan kesaksian kecuali kesaksiannya itu didasarkan pada sesuatu yang menyakinkan. Begitu juga terhadap sumpah, ia harus berasal dari sesuatu yang menyakinkan dan pasti.
Namun perlu diingat bahwa walaupun kesaksian tu berasal dari sesuatu yang menyakinkan, namun seorang qadhi tidak wajib menjatuhkan vonis berdasarkan kesaksian tersebut, sebab kesaksian hanya menyakinkan dari sisi saksi, namun tidak dari sisi qadhi. Setidaknya ada empat macam bukti yang bisa digunakan dalam proses peradilan Islam, yaitu :
Pengakuan 
      Dari  Ibnu  Abbas ra. Ia meriwayatkan sebuah hadits tentang Maiz, bahwa Nabi saw. Bertanya kepada maiz bin Malik:
            “apakah benar apa yang telah disampaikan kepadaku tentang dirimu?”Maiz balik bertanya, “apa yang disampaikan kepada engkau tentang dirku?”Nabi saw. Menjawab, “Telah sampai berita kepadaku bahwa engkau telah berzina dengan budak perempuan keluarga si fulan.” Maz menjawab, “Benar.” Kemudian bersaksilah empat orang saksi. Lalu Rasulullah saw. Memerintahkan agar maiz dirajam, maka dirajamlah Maiz.”
b.    Sumpah
Sumpah telah ditetapkan dalilnya, sebagaimana disebutkan didalam urah al-Maidah ayat 89 dan sabda Rasulullah yang telah disebutkan srbelumnya.
c. Kesaksian
Allah SWT. Berfirman  yang Artinya: “Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (diantaramu) Q. S. al-baqarah : 282)
Adapun mengenal jumlah saksi dalam suatu perkara adalah dua orang laki-laki. Hal ini berdasarkan firman Allah swt. Diatas.
     Dua saksi itu pun bisa berujud, seorang lak-laki dan dua orang wanita, sebagaimana frman Allah:
Artinya: “jika tidak ada dua orang lelaki , maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan “ (Q.S. al-Baqarah: 282)
            Selan itu, Syara’ juga menjelaskan bahwa dua saksi tu adalah empat orang wanita, Sebab dua orang wanita setara dengan seorang laki-laki. Dari Abdullah bin Umar, dari Rasulullah saw berkata, “Kesaksian dua orang wanita setara dengan kesaksian seorang laki-laki.”
            Namun ada juga pengecualian tentang jumlah saks tersebut pada beberapa perkara. Seperti jumlah saksi pada kasus zina adalah empat orang saksi dan satu saksi dapat diterima atas ru’yatul hilal. Demikian juga dalam perkara-perkara yang tidak disaksikan kecuali oleh wanita. Maka daslam kasus semacam ini kesaksian seorang wanita diperbolehkan.
d.      Dokumen tertrulis yang menyakinkan  
Allah swt. Berfirman yang    Artinya : “Dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil disisi Allah dan lebh menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. “(Q.S. al-baqarah : 282)
4. Keputusan Hakim
Keputusan Hakim bersifat mengikat, atau memiliki kekuatan hukum, jika keputusannya itu dijatuhkan di dalam majelis persidangan. Keputusan hakim yang dkeluarkan di luar majelis persdangan tidak memiliki kekuatan hukum sama sekali. Hal ini berlaku hanya pada qadhi khusumat, bukan qadhi hisbah ataupun qadhi madzalim.
5. Mahkamah banding
Meskipun boleh membentuk mahkamah peradlan baik di level pusat, wilayah, dan daerah, akan tetapi tidak ada mahkamah bandng di dalam pandangan Islam. Keputusan mahkamah banding di dalam pandangan Islam. Keputusan mahkamah peradilan di level daerah tidak bisa digugurkan oleh mahkamah peradilan manapun, baik wilayah maupun pusat. Keputusan mahkamah pusat juga tidak bias digugurkan oleh mahkamah peradilan level di wilayah maupun daerah.
Berdasarkan ketetapan ini, tidak ada mahkamah banding tingkat I maupun tingkat II, Sebab, kedudukan mahkamah peradilan di level manapun adalah sama. Ketetapan yang di keluarkan seorang qadhi pada dasarnya adalah hokum Allah yang harus dilaksanakan. Seorang qadhi tidak boleh menganlir keputusan yang telah ditetapkannya. Ketetapannya juga tidak bisa dianulir oleh qadhi yang lan. Kecuali jika kepusannya bertentangan dengan Al-qur’an dan sunah.                          Keputusan qadh bisa dianulirkan, jka keputusannya didasarkan pada hukum-hukum kufur, atau bertentangan dengan nas qath’I, atau memutuskan sesuatu namun bertentangan dengan fatwanya.Jabir bin Abdullah pernah meriwayatkan bahwa ada seorang telah berzina dengan seorang wanita, lalu nabi saw, memerintahkan untuk mencambuknya. Kemudian dilaporkan bahwa orang tersebut pernah menikah, maka beliau saw. Memerntahkan agar orang tersebut dirajam.
6. Tata Cara mengadili
Ada ketentuan-ketentuan dalam  mengadili seseorang di dalam peradilan Islam. Di bawah ini akan dijabarkan sedikit bagaimana tata cara mengadili di dalam peradilan Islam.
a.     Setelah majelis persidangan ditetapkan, maka kedua orang yang bersengketa dihadirkan di ruang persidangan.
b.    Keduanya diminta duduk di hadapan qadhi.
c.     Selanjutnya, pihak pendakwa diminta untuk menyampaikan dakwaanya tanpa mengajukan bukti-bukti.
d.    Qadhi bertanya kepada yang terdakwa akan dakwaan yang disampaikan oleh pihak pendakwa mengakuinya, maka qadhi dapat segera memutuskan vonis sesuai dakwaan.
e.     Namun jka terdakwa menyangkal, qadhi meminta pendakwa menyampaikan bukti dan dakwaannya.
f.      Jika pendakwa tidak bisa membuktikan dakwaanya, maka terdakwa diminta untuk bersumpah, jika ia bersumpah, maka terdakwa bebas tuntutan. Namun jika menolak, qadhi dapat memberinya ancaman berupa hukuman.
g.     Namun jika terdakwa tetap menolak juga, maka dirinya dikenai hukuman berdasarkan dakwaan pendakwa.
h.    Yang perlu diingat, seorang qadhi tidak boleh menjatuhkan vonis berdasarkan    pengetahuannya. Ia hanya boleh memutuskan suatu perkara berdasarkan bukti yang diajukan kepadanya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar