TUGAS FIQIH
Pengertian
Peradilan
Kata peradilan
berasal dari bahasa Arab قضاء yang berarti
menyelesaikan, menunaikan, dan memutuskan hukum atau membuat suatu ketetapan.
Jamaknya adalah aqdhiya yang berarti “memutuskan perkara/ perselisihan antara
dua orang atau lebih berdasarkan hukum Allah.”
Qadha dapat
pula diartikan sesuatu hukum antara manusia dengan kebenaran dan hukum dengan
apa yang telah diturunkan oleh Allah. Para ahli fikih memberikan definisi qadha
sebagai suatu keputusan produk pemerintah atau menetapkan hukum syar’i dengan
jalan penetapan.
Kata Qadha
sendiri memiliki beberapa arti yang satu sama lain saling berkaitan yaitu :
·
Al-Hukmu yaitu
mencegah, menghalangi, atau menghukumi.
·
Al-farag yaitu selesai, putus, atau mengakhiri.
·
Al-ada’ yaitu
menunaikan atau membayar.
Menurut Muhammad
Sallam Madkur, qadha’ disebut hakim karena dia melarang pelaku dari perbuatan
tidak adil.
Dalam Al-Qur’an
Surah Al-Ahzab ayat 37, Allah swt.berfirman:
(٣٧:الْأحزاب) …فَلَمَّا قَضَى زَيْدٌ مِّنْهَا وَطَراً …
Artinya:
“….Maka tatkala
Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannya) ….” (QS.
Al-Ahzab/33:37).
Menurut istilah, peradilan adalah suatu lembaga yang dibentuk pemerintah atau
negara yang bertugas untuk memutuskan atau menetapkan setiap perkara dengan
adil berdasarkan hukum yang berlaku. Apabila yang dijadikan dasar penetapan
suatu perkara itu adalah ajaran-ajaran Islam, maka disebut peradilan islam.
Sedang pengertian pengadilan adalah tempat untuk mengadili suatu perkara,dan
orang yang bertugas mengadili suatu perkaranya disebut Qadi atau Hakim.
Unsur-unsur
peradilan Islam disebut juga dengan rukun qadha’. Secara bahasa, rukun
yaitu bagian yang kuat, yang berfungsi menahan sesuatu. Secara istilah, rukun
berarti bagian tertentu yang mesti dari sesuatu, karena terwujudnya sesuatu itu
mesti dengan adanya bagian itu. Jadi, rukun qadha’ (unsur-unsur peradilan)
yaitu apa yang menunjukkan eksistensi peradilan itu, baik berupa perkataan maupun
perbuatan. Sebagian ahli fiqih menyebutkan bahwa peradilan Islam mempunyai lima
rukun atau unsur, yaitu:
a) Hakim (qadhi)
Yakni orang yang diangkat oleh kepala negara untuk menjadi hakim dalam
menyelesaikan gugatan dan perselisihan, dikarenakan penguasa tidak bisa
melaksanakan sendiri tugas-tugas peradilan. Sebagaimana yang dilakukan nabi
Muhammad SAW pada masa hidupnya. Beliau mengangkat qadli-qadli untuk bertugas
menyelesaikan sengketa di antara manusia di tempat yang jauh.
b) Hukum (qodho’)
Yaitu suatu keputusan produk qadli untuk menyelesaikan perselisihan dan
memutuskan persengketaan. Ada dua bentuk keputusan hakim:
o
Qadla’ ilzam, yaitu menetapkan hak/macam hukuman kepada salah salah satu pihak
dengan redaksi “aku putuskan atasmu demikian”, atau menetapkan suatu hak dengan
tindakan, seperti pembagian secara paksa.
o
Qadla’ tarki (penetapan berupa penolakan). Seperti ucapan qadli kepada
penggugat: kamu tidak berhak menuntut dari tergugat, karena kamu tidak mampu
membuktikan, dan atas sumpah tergugat.
c) Al-mahkum bih
(hak)
Yaitu sesuatu yang diharuskan oleh qadli untuk dipenuhi atas suatu hak.
Pada qadla’ ilzam, yang dimaksud adalah dengan memenuhi hak penggugat. Sedangkan
pada qadla’ tarki, yang dimaksudkan adalah penolakan atas gugatannya itu. Atas
dasar itulah, al-mahkum bih adalah hak itu sendiri. Hak itu adakalanya hak
Allah semata, hak manusia semata, atau hak yang dipersekutukan antara Allah dan
manusia tetapi salah satu lebih berat.
Apabila hak yang dituntut itu merupakan hak manusia semata, atau menurut
lazimnya merupakan hak manusia, maka penuntutnya adalah pemilik hak itu
sendiri, atau orang yang diberi kuasa olehnya. Si penuntut itu disebut mudda’i
(penggugat). Jika ternyata dia tidak menuntut atau membatalkan tuntutannya,
maka ia tidak boleh dipaksa untuk menuntut haknya. Apabila hak yang dituntut
itu adalah hak Allah semata-mata atau menurut lazimnya hak itu merupakan hak
Allah, maka tuntutan itu dilakukan oleh penuntut umum (jaksa). Menurut
hanafiyyah, yang dimaksud hak Allah adalah hak masyarakat (publik).
d) Al-mahkum ‘alaih
Yaitu orang yang dijatuhi putusan atasnya. Mahkum ‘alaih yaitu orang yang
dikenai putusan untuk diambil haknya, baik ia mudda’a alaih (tergugat) atau
mudda’i (penggugat).
e) Al-mahkum lahu
Yaitu penggugat suatu hak, yang merupakan hak manusia semata-mata (hak
perdata), atau hak yang lazimnya merupakan hak manusia semata-mata. Mahkum lah
harus melakukan sendiri gugatan atas haknya atau dengan perantaraan orang yang
diberi kuasa olehnya, dan ia harus datang sendiri ke persidangan atau wakilnya.
Adapun bila hak itu merupakan hak Allah semata, maka mahkum lah-nya adalah
syara’. Dalam hal ini, tuntutan bukan datang dari perorangan, tetapi sesuai
syari’at Islam. Tuntutan itu dilakukan oleh lembaga penuntut umum.
B.
Fungsi Peradilan
Fungsi peradilan adalah untuk
menyelesaikan persengketaan (mendamaikan) antara dua orang atau lebih dan
memutuskan hukum, di samping itu pula fungsi peradilan yaitu untuk menciptakan
ketertiban dan ketentraman masyarakat yang dibina melalui tegaknya hukum.
Menurut Ibnu Khaldum, bahwa tempat menegakkan hukum adalah menetapkan suatu
perkara sehingga bersatu kembali pihak-phak yang bermusuhan, terpenuhi berbagai
hak yang umum dari kaum muslimin dengan pertimbangan membantu pihak yang lemah,
yang kena jinayat, anak-anak yatim, orang yang bangkrut dan mereka hidupnya
yang kesususahan.Di samping itu pula peradilan bertujuan untuk menciptakan
kemaslahatan umat dengan tetap tegaknya hukum Islam.
Oleh karena itu fungsi pokok peradilan adalah :
1. Mendamaikan kedua belah pihak yang bersengketa.
2. Menetapkan sanksi dan menerapkannya kepada para pelaku
perbuatan yang melanggar.
3. Menciptakan ketertiban dan ketentraman masyarakat yang
dibina melalui tegaknya supremasi hukum.
4. Mengayomi masyarakat dari ketidakadilan.
5. Melindungi jiwa, harta, dan kehormatan masyarakat.
6. Menciptakan kemaslahatan umat dengan tetap tegaknya
hukum islam.
7. Menegakkan amar makruf dan nahi mungkar, yaitu
menyampaikan hak kepada orang yang harus menerimanya dan menghalangi orang yang
zalim dari perbuatannya.
C.
Tata Cara Pengadilan Menjatuhkan Hukumannya
Dalam menjatuhkan suatu hukum,
seorang hakim harus melakukan proses dengan melalui berbagai tahapan, seperti
mendengarkan dakwaan dari pendakwa atau penuduh, memberikan kesempatan terdakwa
untuk menanggapi dakwaan, memeriksa kebenaran dakwaan melalui bukti maupun
saksi. Berikut penjelasan dari proses tersebut, yaitu:
Pendakwa atau penuduh diberikan kesempatan secukupnya untuk menyampaikan
tuduhannya sampai selesai. Sementara itu terdakwa atau tertuduh diminta untuk
mendengarkan dan memperhatikan semua tuduhan dengan sebaik-baiknya sehingga
apabila tuduhan telah selesai terdakwa dapat menilai benar atau tidaknya
tuduhan tersebut.
Sebelum dakwaan atau tuduhan selesai disampaikan maka hakim tidak boleh
bertanya kepada pendakwa, sebab di khawatirkan akan dapat memberikan pengaruh
positif maupun negatif kepada terdakwa.
Hakim memeriksa tuduhan-tuduhan
tersebut dengan mengajukan beberapa pertanyaan yang di anggap penting untuk menguatkan
dakwaannya. Apabila terdakwa menolak, maka dia harus bersumpah.
Pendakwa harus menunjukan bukti-bukti yang benar, untuk menguatkan dakwaannya.
Rasulullah saw. bersabda, yang artinya:
"Pendakwa
harus menunjukkan bukti-bukti dan terdakwa harus bersumpah" (HR.
Baihaqi).
Jika pendakwa menunjukkan bukti-bukti yang benar maka hakim harus memutuskan
sesuai dengan tuduhan meskipun terdakwa menolak dakwaan tersebut. Sebaliknya
jika terdakwa dapat bukti-bukti yang benar hakim harus menerima sumpah terdakwa
sekaligus membenarkan terdakwa.
D.
Cara Memeriksa Terdakwa dan Terdakwa Yang Tidak Hadir
Di Persidangan
1.
Memeriksa Tedakwa
Cara memeriksa terdakwa :
-
Hakim
berusaha mendamaikan pihak-pihak yang berperkara
-
Jika
tidak dapat didamaikan, perkara itu diperiksa menurut ketentuan yang berlaku.
Beberapa kemungkinan dalam jalannya persidangan, yang pada akhirnya hakim
memutuskan perkara :
a.
Apabila
terdakwa mengikrarkan (mengakui) tuduhan, maka hakim memutuskan perkara sesuai
dengan pengakuan tersebut, dan pemeriksaan terdakwa dianggap tuntas.
b. Apabila terdakwa
mengingkari tuduhan pendakwa, maka hakim meminta kepada pendakwa untuk
mendatangkan bukti-bukti perkara.
c.
Apabila
bukti-bukti tidak cukup, sedangkan pendakwa tidak mampu membuktikan kebenaran
gugatannya, lalu ia minta supaya pihak terdakwa disumpah, maka hakim harus
meluluskan permintaannya, setelah itu hakim memutuskan perkara berdasarkan sumpah
terdakwa.
2.
Terdakwa Yang Tidak Hadir Di Persidangan
Dalam
pemeriksaan harus dihadirkan pihak-pihak yang berperkara. Untuk pendakwa
dianggap tidak ada masalah hadir di persidangan, karena ia yang menuntut agar perkaranya
dimejahijaukan. Sedangkan terdakwa juga harus hadir. Jika tidak, pengadilan
tetap memanggilnya sampai batas tiga kali. Menurut Imam Hanafi jika terdakwa tidak mau hadir karena membangkang atau
tidak hadir lalu memberikan ikrar kepada hakim akan menerima apa yang
diputuskan pengadilan, maka hakim boleh memutuskan perkara dengan cara Verstek
(tidak hadir dan absentia).
Menurut Imam Abu
Hanifah, Ibn Abi Laila, Syuraih, dan Umar bin Abdul Aziz tidak membolehkan
putusan verstek ini. Alasan yang dikemukakan adalah mungkin saja ketidakhadiran
terdakwa karena ada hujjah yang menyebabkannya tidak bisa hadir di persidangan.
Akan tetapi jika ada wakilnya, persidangan bisa dilanjutkan atau dilangsungkan.
PROSES PERADILAN DALAM ISLAM
A. Proses
Peradilan dalam Islam
Dalam proses peradilan,
perkara akan diselesaikan jika telah melalui beberapa tahap, yaitu dimulai dari
diajukannya gugatan, dilanjutkan dengan pemerksaan oleh qadhi, pembuktian atas
gugatan dan pembelaan dari yang digugat, kemudian dilanjutkan dengan musyawarah
dan keputusan dari seorang hakim.
1.
Permohonan (gugatan)
Pihak yang mengajukan
permohonan disebut pemohon, sedangkan pihak yang dikenakan permohonan disebut
termohon, Setidaknya ada beberapa cara dalam mengajukan gugatan, yaitu:
dagvaarding (pengajuan permohonan melalui perantara advokat), cara biasa, cara
langsung dan perwakilan, cara tertulis dan lisan, dan cara surat kuasa.
2. Pemeriksaan
dalam sidang Pengadilan
Setwelah permohonan diajukan,
seorang hakim melanjutkan dengan pemeriksaan atas berkas perkara, baik itu
melalui pemangglan pihak-pihak, tangkisan, siding terbuka/tertutup, ataupun
diberikannya hak ingkar atas termohon.
3. Pembuktian
Pembuktian merupakan syarat
bagi seorang qadhi untuk memberikan keputusan hukum yang bersifat mengikat.
Bukti juga dperlukan oleh seorang penuntut untuk membuktikan dakwaanya. Nabi
saw. Bersabda:
Artinya: “Bukti itu wajib bagi orang yang mendakwa,
sedangkan sumpah itu wajib bagi orang yang didakwa “ (H.R Baihaqi dan
thabrani)
Sesuatu tdak bisa menjadi
bukti menjadi bukti, kecuali jika sesuatu tu menyakinkan dan pasti. Seseorang
tidak boleh memberikan kesaksian kecuali kesaksiannya itu didasarkan pada
sesuatu yang menyakinkan. Begitu juga terhadap sumpah, ia harus berasal dari
sesuatu yang menyakinkan dan pasti.
Namun perlu diingat bahwa
walaupun kesaksian tu berasal dari sesuatu yang menyakinkan, namun seorang
qadhi tidak wajib menjatuhkan vonis berdasarkan kesaksian tersebut, sebab
kesaksian hanya menyakinkan dari sisi saksi, namun tidak dari sisi qadhi.
Setidaknya ada empat macam bukti yang bisa digunakan dalam proses peradilan
Islam, yaitu :
Pengakuan
Dari Ibnu
Abbas ra. Ia meriwayatkan sebuah hadits tentang Maiz, bahwa Nabi saw. Bertanya
kepada maiz bin Malik:
“apakah benar apa yang telah disampaikan kepadaku tentang dirimu?”Maiz balik
bertanya, “apa yang disampaikan kepada engkau tentang dirku?”Nabi saw.
Menjawab, “Telah sampai berita kepadaku bahwa engkau telah berzina dengan budak
perempuan keluarga si fulan.” Maz menjawab, “Benar.” Kemudian bersaksilah empat
orang saksi. Lalu Rasulullah saw. Memerintahkan agar maiz dirajam, maka
dirajamlah Maiz.”
b.
Sumpah
Sumpah telah ditetapkan
dalilnya, sebagaimana disebutkan didalam urah al-Maidah ayat 89 dan sabda
Rasulullah yang telah disebutkan srbelumnya.
c. Kesaksian
Allah SWT. Berfirman yang Artinya: “Dan persaksikanlah dengan dua
orang saksi dari orang-orang lelaki (diantaramu) Q. S. al-baqarah : 282)
Adapun mengenal jumlah saksi dalam suatu perkara adalah
dua orang laki-laki. Hal ini berdasarkan firman Allah swt. Diatas.
Dua saksi itu pun
bisa berujud, seorang lak-laki dan dua orang wanita, sebagaimana frman Allah:
Artinya: “jika tidak ada dua orang lelaki , maka (boleh) seorang lelaki dan dua
orang perempuan “ (Q.S. al-Baqarah: 282)
Selan itu, Syara’ juga menjelaskan bahwa dua saksi tu adalah empat orang
wanita, Sebab dua orang wanita setara dengan seorang laki-laki. Dari Abdullah
bin Umar, dari Rasulullah saw berkata, “Kesaksian dua orang wanita setara
dengan kesaksian seorang laki-laki.”
Namun ada juga pengecualian tentang jumlah saks tersebut pada beberapa perkara.
Seperti jumlah saksi pada kasus zina adalah empat orang saksi dan satu saksi
dapat diterima atas ru’yatul hilal. Demikian juga dalam perkara-perkara
yang tidak disaksikan kecuali oleh wanita. Maka daslam kasus semacam ini
kesaksian seorang wanita diperbolehkan.
d.
Dokumen tertrulis yang menyakinkan
Allah swt. Berfirman yang Artinya : “Dan
janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas
waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil disisi Allah dan lebh
menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu.
“(Q.S. al-baqarah : 282)
4. Keputusan Hakim
Keputusan Hakim bersifat
mengikat, atau memiliki kekuatan hukum, jika keputusannya itu dijatuhkan di
dalam majelis persidangan. Keputusan hakim yang dkeluarkan di luar majelis
persdangan tidak memiliki kekuatan hukum sama sekali. Hal ini berlaku hanya
pada qadhi khusumat, bukan qadhi hisbah ataupun qadhi madzalim.
5. Mahkamah
banding
Meskipun boleh membentuk
mahkamah peradlan baik di level pusat, wilayah, dan daerah, akan tetapi tidak
ada mahkamah bandng di dalam pandangan Islam. Keputusan mahkamah banding di
dalam pandangan Islam. Keputusan mahkamah peradilan di level daerah tidak bisa
digugurkan oleh mahkamah peradilan manapun, baik wilayah maupun pusat.
Keputusan mahkamah pusat juga tidak bias digugurkan oleh mahkamah peradilan
level di wilayah maupun daerah.
Berdasarkan
ketetapan ini, tidak ada mahkamah banding tingkat I maupun tingkat II, Sebab,
kedudukan mahkamah peradilan di level manapun adalah sama. Ketetapan yang di
keluarkan seorang qadhi pada dasarnya adalah hokum Allah yang harus
dilaksanakan. Seorang qadhi tidak boleh menganlir keputusan yang telah
ditetapkannya. Ketetapannya juga tidak bisa dianulir oleh qadhi yang lan.
Kecuali jika kepusannya bertentangan dengan Al-qur’an dan sunah. Keputusan
qadh bisa dianulirkan, jka keputusannya didasarkan pada hukum-hukum kufur, atau
bertentangan dengan nas qath’I, atau memutuskan sesuatu namun bertentangan
dengan fatwanya.Jabir bin Abdullah pernah meriwayatkan bahwa ada seorang telah
berzina dengan seorang wanita, lalu nabi saw, memerintahkan untuk mencambuknya.
Kemudian dilaporkan bahwa orang tersebut pernah menikah, maka beliau saw.
Memerntahkan agar orang tersebut dirajam.
6. Tata
Cara mengadili
Ada ketentuan-ketentuan
dalam mengadili seseorang di dalam peradilan Islam. Di bawah ini akan
dijabarkan sedikit bagaimana tata cara mengadili di dalam peradilan Islam.
a.
Setelah majelis persidangan ditetapkan, maka kedua orang yang bersengketa
dihadirkan di ruang persidangan.
b.
Keduanya diminta duduk di hadapan qadhi.
c.
Selanjutnya, pihak pendakwa diminta untuk menyampaikan dakwaanya tanpa
mengajukan bukti-bukti.
d. Qadhi bertanya kepada yang terdakwa akan
dakwaan yang disampaikan oleh pihak pendakwa mengakuinya, maka qadhi dapat
segera memutuskan vonis sesuai dakwaan.
e.
Namun jka terdakwa menyangkal, qadhi meminta pendakwa menyampaikan bukti dan
dakwaannya.
f.
Jika pendakwa tidak bisa membuktikan dakwaanya, maka terdakwa diminta untuk
bersumpah, jika ia bersumpah, maka terdakwa bebas tuntutan. Namun jika menolak,
qadhi dapat memberinya ancaman berupa hukuman.
g.
Namun jika terdakwa tetap menolak juga, maka dirinya dikenai hukuman
berdasarkan dakwaan pendakwa.
h. Yang perlu diingat, seorang qadhi
tidak boleh menjatuhkan vonis berdasarkan pengetahuannya. Ia
hanya boleh memutuskan suatu perkara berdasarkan bukti yang diajukan kepadanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar